Monday, October 31, 2011

Seri Syarh Ringkas Al-Mandzumah Al-Baiquniyyah (bagian 4)

Syarh Ringkas Al-Mandzumah Al-Baiquniyyah (4)

وَالْفَرْدُ مَا قَيَّدْتَـهُ بِثـِقَةِ         أَوْ جَمْعٍ اوْ قَصْرٍ عَلىَ رِوَايَةِ
Dan hadis fard (menyendiri) adalah yang engkau ikat dengan rawi tsiqah
Atau dengan jamaah, atau dengan pembatasan pada sebuah riwayat
Selanjutnya hadis fard, yang secara bahasa artinya menyendiri. Hadis fard terbagi dua. Pertama, fard mutlak; yaitu hadis yang diriwayatkan dengan satu jalur periwayatan. seorang rawi menyendiri dalam periwayatan hadis tersebut dan tidak ada yang menyepakatinya.


Kedua, fard nisbi; yaitu hadis yang kesendiriannya terkait dengan sisi tertentu. Sisi-sisi inilah yang diantaranya disebutkan al-Baiquny dalam bait diatas:
  • Rawi tsiqah: seperti jika dikatakan, “Hadis ini, tidak ada rawi tsiqah yang meriwayatkannya kecuali si fulan.” Hadis yang seperti ini disebut fard dari sisi perawi tsiqah, walaupun  hadis itu diriwayatkan oleh perawi-perawi lain, namun dhaif.
  • Jamaah: seperti dikatakan, “Hadis ini hanya diriwayatkan oleh penduduk Madinah.”
  • Terbatas pada periwayatan tertentu: seperti dikatakan, “Hadis ini, tidak ada perawi yang meriwayatkan dari si fulan kecuali si fulan.” Walaupun hadisnya sendiri masyhur dari jalur periwayatan perawi yang lain.
Istilah fard juga semakna dengan gharib. Namun dari sisi pemakaian, para ulama hadis lebih sering menggunakan istilah fard untuk yang muthlak, dan istilah gharib untuk yang nisbi.

وَمَا بِعِلَّةٍ   غُمُوْضٍ أَوْ خَفَا           مُعَلَّـلٌ عِنْدَهُمُ قَـدْ عُرِفَا
Dan hadis yang (terdapat padanya) ‘illah (kecacatan) yang samar atau tersembunyi
(disebut) mu’allal dalam istilah mereka (ahli hadis) telah diketahui
Pada bait ini, al-Baiquny menyebutkan istilah mu’allal, atau juga yang biasa dikenal oleh para ahli hadis dengan istilahma’luul. Sebagainama yang terdapat pada redaksi Imam Bukhari dan Imam Tirmidzi, dan ini termasuk lahn(menyelisihi kaidah bahasa)[1].
Hadis mu’allal atau ma’lul adalah hadis yang padanya terdapat kecacatan (illah) yang mencacati hadis, yang bersifat tersembunyi, walaupun secara zahir hadis itu selamat dari kecacatan.[2]
Jika kecacatan hadis mu’allal itu bersifat tersembunyi, maka bagaimanakah kecacatan tersebut dapat ditemukan oleh para ahli hadis? Para ahli hadis menemukan kecacatan itu dengan cara mengumpulkan semua jalur-jalur periwayatan yang ada terkait hadis tersebut dan membandingkan antara sebagian dengan sebagian yang lainnya. Dengan indikasi-indikasi (qarinah-qarinah) tertentu yang menunjukkan adanya kesalahan atau kecacatan setelah pengumpulan dan perbandingan itu, maka para ulama hadis menyatakan bahwa hadis tersebut dinyatakan mu’allal atau ma’lul.
Perlu diketahui bahwa ilmu ‘ilal (mengetahui ‘illah-‘illah hadis) hanya dikuasai oleh para huffadz dan Imam dari kalangan ahli hadis. Karena ia membutuhkan wawasan yang sangat luas terhadap jalur-jalur hadis yang banyak.

وَذُوْ اخْتِلاَفِ سَنَدٍ أَوْ مَتْنِ           مُضْطَرِبٌ عِنْدَ أُهَيْلِ الْفَنِّ
(hadis) yang padanya terdapat perselisihan dalam sanad atau matn
Adalah mudhtharib dalam istilah ahli ilmu hadis
Al-Baiquny selanjutnya menyebutkan istilah mudhtharib, yang secara bahasa artinya goncang. Ia adalah hadis yang terjadi perselisihan baik pada sanadnya atau matnnya atau keduanya dari seorang rawi atau lebih.
Gambarannya adalah ketika seorang perawi atau lebih meriwayatkan suatu hadis dengan bentuk lebih dari satu; misalnya suatu hadis diriwayatkan terkadang dengan peniadaan dan terkadang diriwayatkan dengan penetapan, atau terkadang dengan tambahan suatu lafadz terkadang tidak, atau terkadang diriwayatkan dengan maushul (bersambung) terkadang dengan mursal, dan seterusnya. Dengan catatan bahwa perselisihan itu (1) tidak mungkin untuk dikompromikan satu dengan yang lainnya (jama’) dan (2) tidak mungkin untuk dikuatkan salah satu dari yang lainnya (tarjih).

وَالْمُدْرَجَاتُ فِي الْحَدِيْثِ مَا أَتَتْ           مِنْ بَعْضِ أَلْفَـاظِ الرُّوَاةِ اتَّصَلَتْ
Dan mudraj dalam hadis adalah lafadz yang datang
Dari sebagian lafadz para perawi yang bersambung (dengan hadis)
Idraaj adalah salah satu bentuk tambahan kepada hadis yang bukan bagian dari hadis tersebut. Hadis yang dimasuki tambahan itu disebut mudraj. Yaitu ketika salah seorang perawi baik dari kalangan sahabat, tabi’in atau yang setelahnya menyertakan sebagian lafadz yang bukan lafadz Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tanpa ada pemisahan sehingga seolah-olah bagian dari hadis.
Idraj terdapat dalam matn dan sanad. Idraj dalam matn bisa terjadi di awal, di tengah atau di akhirnya. Dan yang di akhir adalah yang paling banyak terjadi. Diantara contoh untuk mudraj di awal adalah hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ketika beliau melihat sekelompok orang yang tidak menyempurnakan wudhu mereka, kemudian berkata, “Sempurnakanlah wudhu kalian” karena aku mendengar Nabi bersabda, “Celakahlah bagi yang bagian belakang kakinya tidak terbasuh karena neraka.”
Lafadz “Sempurnakanlah wudhu kalian” adalah perkataan Abu Hurairah. Akan tetapi sebagian para perawi menyertakan lafadz itu ke dalam bagian dari hadis.

وَمَا رَوَى كُلُّ قَرِيْنٍ عَنْ أَََخِهْ             مُدَبَّجٌ فَاعْرِفْهُ حَقٍّا وَانْتَخِهْ
Dan hadis yang diriwayatkan oleh setiap qarin dari saudaranya
Mudabbaj, ketahuilah dengan benar dan banggalah (karena mengetahuinya)
Pada bait ini disebutkan istilah mudabbaj. Sebelum mengetahui istilah ini, kita harus mengetahui terlebih dahulu istilah qarin. Qarin adalah teman dalam periwayatan yang setara dari sisi umur dan sanad atau dalam guru.[3]
Ketika dua perawi qarin saling meriwayatkan satu sama lain, inilah yang disebut mudabbaj. Contohnya riwayat masing-masing dari Abu Hurairah dan Aisyah, atau riwayat masing-masing dari Imam Ahmad dan Imam Syafi. Penamaan mudabbaj diambil dari “diibaajatai al-wajh” (dua sisi wajah); yaitu kedua pipi, karena kesamaan keduanya.[4]
Kata-kata al-Baiquny “dan banggalah (karena mengetahuinya)” adalah isyarat bahwa mengetahui mudabbaj memiliki faidah tersendiri; yaitu selamat dari sangkaan adanya tambahan dalam sanad.

مُتَّفِقٌ لَفْظًا وَخَطًّا مُتَّفِقْ           وَضِدُّهُ فِيْمَا ذَكَرْنَا الْمُفْتَرِقْ
Muttaafiq (sama) dari sisi lafadz dan khath (cara penulisan) disebut muttafiq
Dan kebalikan dari apa yang telah kami sebutkan (muttafiq) adalah muftariq
Bait ini menyebutkan tentang istilah muttafiq dan muftariq. Keduanya adalah istilah yang menjadi satu kesatuan dalam hal mengenal nama-nama, nasab-nasab atau yang lainnya dari para perawi hadis. Muttafiq dan muftariq adalah nama rawi yang sama (muttafiq) dari sisi lafadz dan cara penulisannya, namun berbeda (muftariq) dari sisi orangnya. Seperti nama al-Khalil bin Ahmad. Ada enam orang perawi dengan nama ini.

مُؤْتَلِفٌ مُتَّفِقُ الْخَطِّ فَقَطْ              وَضِدُّهُ مُخَتَلِفٌ فَاخْشَ الْغَلَطْ
Mu’talif adalah yang sama dari sisi cara penulisan (khath) nya saja
Dan kebalikannya mukhtalif, hendaklah khawatir dari kekeliruan
Bait ini menyebutkan istilah mu’talif dan mukhtalif yang juga istilah yang menjadi satu kesatuan seperti istilah muttafiq dan muftariq. Mu`talif dan mukhtalif adalah nama atau yang lainnya (nasab, nama bapak dll) yang sama (mu`talif) dari sisi cara penulisannya saja, sementara dalam hal lainnya berbeda (mukhtalif). Contohnya nama سلّام Sallaam (dengan mentasydidkan huruf lam) dengan Salaam  سلام (dengan tanpa tasydid).
Bersambung Insya Allah. 

[1] Taqriib, dengan syarh Tadrib Ar-Rawi, hal. 134
[2] ‘Ulum al-Hadis, hal. 116
[3] Taqrib, syarh Tadrib, vol. 2 hal. 141
[4] Tuhfah Zainiyyah, hal. 15, Hawasyi al-Baiquniyyah, hal. 10



arsip sabilulilmi.wordpress.com - kategory hadits 

No comments:

Post a Comment

Sekilas Info

SEKILAS INFO Bismillah Alhamdulillah Semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam, keluar...