Syarh Nukhbatul Fikar (Bagian 4)
KITAB NUKHBATUL FIKAR
KARYA SYAIKHUL ISLAM IBNU HAJAR RAHIMAHULLAH
Oleh Haidir Rahman Rz
KAJIAN KEEMPAT: KHABAR AHAD
Artinya:
Maka aku katakan: Suatu Khabar ada yang memiliki:
- jalur periwayatan yang banyak dan jumlahnya tidak menentu.
- adapula yang memiliki jalur periwayatan lebih dari dua dengan jumlah tertentu.
- adapula yang hanya dua.
- bahkan ada yang memiliki satu jalur saja.
Yang pertama disebut mutawatir yang mana jika syarat-syaratnya terpenuhi akan menghasilkan ilmu yang bersifat yaqini .
Yang kedua disebut masyhur dan sebagian berpendapat bahwa khabar masyhur ini sama dengan khabar mustafidh.
Yang ketiga disebut aziz, dan khabar ini bukanlah syarat bagi hadits shahih sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang.
Yang keempat disebut gharib.
Khabar-khabar selain yang pertama(yaitu mutawatir) disebut khabar Ahad. Khabar Ahad ada yang bisa diterima dan ada yang tidak. Karena khabar tersebut baru bisa dijadikan hujjah ketika sudah diteliti para perawinya. Tidak seperti khabar yang pertama yang tidak perlu diteliti lagi keadaan para perawinya. Dan terkadang khabar ahad dapat menghasilkan ilmu yang bersifat nazhari berdasarkan indikasi-indikasi yang menguatkannya. Dan inilah pendapat yang kuat.
Penjelasan
Sebagaimana yang dijelaskan Syaikhul Islam Ibnu Hajar rahimahullah bahwa khabar ahad adalah khabar-khabar selain khabar mutawatir. Artinya jumlah jalur periwayatannya tidak sampai kepada jumlah mutawatir. Meskipun jumlah jalurnya belum mencapai jumlah mutawatir, ada khabar ahad yang jumlah jalurnya bisa dikatakan banyak karena lebih dari dua jalur. Khabar inilah yang disebut khabar masyhur. Atau nama lainnya khabar Mustafhidh. Dan seterusnya sampai aziz dan gharib. Di bawah ini akan dijelaskan jenis-jenis khabar ahad beserta contohnya.
Khabar Masyhur/Mustafidh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasalam bersabda:
إِذَا اسْتَأْذَنَ أَحَدُكُمْ ثَلاَثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ فَلْيَرْجِعْ
Jika salah seorang diantara kalian hendak bertamu, dan telah meminta izin tiga kali. Namun tidak ada jawaban, maka hendaklah kalian pulang. [Muttafaqun 'alaih]
Mengapa hadits ini disebut hadits masyhur? Kita lihat kembali apa pengertian hadits masyhur yang disebutkan oleh Syaikhul Islam di atas:
Yang memiliki lebih dari dua jalur periwayatan dengan jumlah tertentu.
Sekarang kita lihat, berapa jalur periwayatan hadits ini?
Jalur pertama:
Sufyan bin Uyaynah dari Yazid bin Khushaifah dari Busr bin Sa'id dari Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu.
Jalur kedua:
Yahya bin Sa'id Al-Qathan dari Ibnu Jurarj dari Atha' dari Ubaid bin Umair dari Abu Musa Al-Asy'ariradhiyalahu 'anhu.
Jalur ketiga:
Al-Walid bin Muslim dari Jundub bin Abdillah Al-Bajali radhiyallahu 'anhu.
Jalur keempat:
Abdur Razzaq dari Ma'mar dari Tsabit bin Aslam Al-Bunani dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu. Hadist dengan jalur ini bukan merupakan perkataan seperti hadits di atas. Melainkan perbuatan Rasulullah ketika bertamu ke rumah Sa'd bin Ubadah radhiyallahu 'anhu. Ketika tidak mendengar jawaban salam dari Sa'ad, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam-pun pergi. Silahkan rujuk ke Musnad Ahmad bin Hambal no: 12741.
Dari keempat jalur tersebut, dapat kita ketahui bahwa yang mendengar hadits ini dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam serta meriwayatkannya ada empat orang sahabat radhiyallahu 'anhum ajma'in. Masing-masing dari keempat sahabat ini meriwayatkan lagi hadits ini kepada murid-murid mereka. Abu Sa'id Al-Khudri kepada muridnya Busr bin Sa'id dan seterusnya sampai kepada penyusun Kitab-kitab hadits. Begitu pula dengan Abu Musa Al-Asy'ari dan yang lainnya. Namun perlu diingat bahwa tidak hanya empat sahabat ini saja yang mendengar hadits ini dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam. Ada sahabat lain seperti Umar bin Khatab, Ubay bin Ka'ab, dan Sa'ad bin Ubadah sebagaimana dalam riwayat Imam Ahmad di atas. Bahkan Sa'ad tidak hanya mendengar namun juga melihat langsung bagaimana Rasulullah mencontohkan adab bertamu dalam Islam. Namun sahabat-sahabat tersebut tidak meriwayatkannya kepada muridnya. Ada banyak faktor mengapa mereka tidak meriwayatkannya, yang mana bukan waktunya untuk menjelaskan di sini mengapa mereka tidak meriwayatkannya?
Maka dari sini dapat kita ketahui mengapa hadits ini disebut hadits masyhur atau khabar masyhur. Karena hadits ini memiliki lebih dari dua jalur periwayatan. Nah, jalur-jalur periwayatannya ini terlepas dari statusnya shahih atau lemah. Pada pembahasan ini kita belum membicarakan mana isnad yang shahih dan mana yang lemah. Kita hanya membicarakannya dari sudut pandang berapa jumlah jalur yang ada. Masyhur sendiri jika diterjemahkan berarti populer atau terkenal. Jadi hadits masyhur adalah hadits populer karena banyaknya jalur periwayatannya, hanya saja jalur periwayatan tersebut tidak sampai kepada jumlah mutawatir.
Khabar Aziz
Sebagaimana yang dikatakan Syaikhul Islam di atas. Khabar Aziz adalah khabar yang memiliki dua jalur periwayatan saja. Dan keadaan sebuah hadits atau khabar dengan dua jalur periwayatan bukan merupakan syarat keshahihan suatu hadits. Dengan ini Syaikhul Islam membantah pendapat yang mensyaratkan aziz sebagai syarat shahih suatu hadits. Pendapat yang mengatakan bahwa suatu hadits belum bisa dikatakan shahih hingga dia memiliki dua jalur periwayatan adalah pendapat Abu Ali Al-Juba'i, dia adalah salah seorang pemuka mazhab Mu'tazilah [lihat nuzhah hal: 5].
Adapun contoh hadits aziz adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam berikut ini:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِين
Kalian belumlah beriman hingga kalian mencintaiku melebihi cinta kalian terhadap orang tua kalian, anak, dan seluruh umat manusia.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim rahimahumallah dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. Imam Bukhari juga meriwayatkannya lagi dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu. Dengan demikian ada dua sahabat yang mendengarnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam. Nah, yang uniknya dari jalur Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu ada dua perawi yang meriwayatkannya, mereka adalah Qatadah bin Di'amah As-Sadusi dan Abdul Aziz bin Shuhaib. Kemudian masing-masing dari kedua murid Anas bin Malik tadi meriwayatkan lagi kepada dua orang muridnya lagi. Dari Qatadah ada dua orang murid yaitu Syu'bah bin Hajjaj dan Sa'id bin Abi Urubah. Sedangkan dari Abdul Aziz juga ada dua murid juga; Ismail bin Ulayyah dan Abdul Warits. [Lihat Tadribur Rawi, hal: 176]
Khabar Gharib
Kata gharib jika diterjemahkan berarti aneh atau asing. Khabar ini dikatakan gharib karena hanya seorang perawi saja yang meriwayatkannya dari gurunya. Jadi seolah-olah khabar ini asing dan aneh. Mengenai khabar ini akan dibahas lebih lanjut lagi pada pembahasan gharabah mutlak dan gharabah nisbi.
Khabar Ahad yang sarat akan indikasi kebenaran.
Di atas Syaikhul Islam mengatakan:
Dan terkadang khabar ahad dapat menghasilkan ilmu yang bersifat nazhari berdasarkan indikasi-indikasi yang menguatkannya.
Pada sesi kedua yang telah lalu kita sudah mengatahui apa itu ilmu yaqini dan apa itu ilmu nazhari. Telah kita ketahui bahwa ilmu yang dihasilkan khabar ahad bersifat nazhari. Dari mana kita mengetahuinya? Tentunya melalui penelitian terhadap isnad haditsnya. Nah, selain melihat dan meneliti isnad, kita bisa mengetahui bahwa khabar ahad dapat diterima dan ilmu yang dihasilkannya bersifat nazhari melalui indikasi-indikasi yang menguatkannya. Apa saja indikasi tersebut? Diantara contohnya adalah khabar-khabar yang diriwayatkan oleh dua Imam Bukhari dan Muslim. Para ulama sudah sepakat bahwa hadits-hadits yang mereka bawa di dalam kitab shahih mereka merupakan hadits shahih. Ini adalah salah satu contoh indikasi dimana khabar ahad dapat diterima tanpa meneliti terlebih dahulu isnadnya.
Mengapa mereka menolak khabar Ahad?
Satu-satunya cara untuk menghancurkan Islam adalah menjauhkan umat Islam dari sumber ajarannya. Apa sumbernya? Tentunya Al-Qur'an dan Sunnah. Untuk Al-Qur'an, musuh-musuh Islam harus bekerja keras untuk menanamkan keraguan di hati umat Islam terhadap kebenarannya. Karena umat Islam sudah terlanjur yakin terhadap kebenarannya dari yang pandai mentafsirkan Al-Qur'an sampai yang tidak bisa membaca sama sekali tahu kalau Al-Qur'an itu adalah Kitabullah Kitab Suci umat Islam yang wajib diimani. Nah, sedangkan sunnah, sepertinya inilah sasaran empuk mereka. Kebetulan umat Islam saat ini sedang jauh-jauhnya dari sunnah Rasul shallallahu 'alaihi wa salam. Dan kebetulan juga mayoritas umat Islam saat ini tidak memiliki perbendaharaan ilmu untuk menjaga sunnah-sunnah tersebut. Maka digagaslah berbagai cara, bagaimana agar umat Islam bisa menolak sebagian saja sunnah-sunnah tersebut. Tidak perlu semuanya, jika sepertiga atau lebih dari sunnah Rasul shallallahu 'alaihi wa salam sudah ditolak umat Islam sendiri, maka mereka telah berhasil menjauhkan Umat Islam dari sumber ajarannya.
Diantara propaganda yang digagas adalah bahwa Khabar Ahad tidak memberikan faidah ilmu sama sekali. Khabar Ahad hanya menghasilkan sebuah prasangka saja. Karena jumlah pemberi berita tidak mencapai jumlah mutawatir. Jika khabar ahad hanya menghasilkan berita yang sekedar prasangka saja, bagaimana mungkin suatu hukum agama ini dibangun diatas sebuah prasangka? Hukum Islam haruslah dibangun diatas sesuatu yang telah diyakini kebenarannya, diatas suatu ilmu yang kebenarannya tidak diragukan lagi. Begitulah kira-kira koar-koar mereka untuk menolak khabar Ahad.
Kita katakan, ya… yang anda katakan benar. Khabar Ahad hanya menghasilkan berita yang sifatnya prasangka. Namun kapan itu terjadi? Hal itu terjadi sebelum dilakukannya penelitian. Akan tetapi setelah dilakukan penelitian prasangka tersebut sudah berubah statusnya menjadi sebuah keyakinan. Menjadi sebuah ilmu yang harus kita yakini kebenarannya.
Tidak hanya berhenti sampai disini. Karena gagal menanamkan keraguan dengan hujjah-hujjah akal, akhirnya mereka mendatangkan dalil berupa sikap dan tindakan sahabat terhadap khabar ahad. Bukankah para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa salam yang mesti kita contoh? Kami katakan ya…benar, trus kenapa? Ketahuilah, para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa salam tidak menerima khabar Ahad. Buktinya adalah apa yang dilakukan Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq ketika ada seorang nenek yang ingin meminta bagian warisan. Khalifah Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu mengatakan: "aku tidak tahu berapa bagian seorang nenek yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya". Kemudian Mughirah bin Syubhah radhiyallahu anhu mengatakan: "aku menyaksikan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihiwa salam memberikan seperenam bagian harta waris kepada seorang nenek". Mendengar hal ini Khalifah Abu Bakar tidak langsung menerima berita tersebut. Sang Khalifah bertanya, adakah yang mendengarnya selain engkau? Kemudian Muhammad bin Maslamah radhiyallahu 'anhu bersaksi bahwa dia juga melihatnya.
[Lihat kisah ini di Kitab Sunan Abi Dawud, bab warisan nenek. No: 2896]
Dari kisah ini kita dapat mengetahui bahwa Abu Bakar radhiyallahu anhu tidak menerima khabar ahad. Beliau menerima khabar ini setelah adanya dua orang yang menyaksikannya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam.
Kita katakan, masya Allah kuat sekali hujjah antum ya..., wahai penolak khabar ahad? Antum tahu gk kisah itu siapa yang menceritakannya? Berapa orang yang mengisahkan kisah itu kepada antum? Atau berapa jalur periwayatan kisah tersebut hingga sampai kepada antum? Kisah ini tidak antum dapatkan kecuali dari jalur Qabishah bin Dzu'aib, dan inilah satu-satunya jalur yang menceritakan kisah ini. Dengan demikian kisah ini juga khabar ahad. Mengapa antum menggunakan khabar ahad? Padahal antum sudah menolaknya habis-habisan. Antum terima khabar ahad yang ini untuk menolak khabar ahad yang ada? Subhanallah, perbuatan antum ini persis seperti orang yang menjilat air liur yang telah diludahkannya!
No comments:
Post a Comment