Lebaran Menurut Sunnah yang Shahih (Bag 1)
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarkatuh.
Bismillah, Alhamdulillah.
Semoga Shalawat dan salam tercurahkan kepada Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam, kepada keluarga dan sahabat beliau, dan orang yang mengikuti beliau dengan baik hingga akhir zaman.
Amma ba'du :
Untuk melengkapi pembahasan yang kemarin, maka kami akan menyampaikan pembahasan tentang seputar Hari 'Iid (Hari Raya) yang insya'Allah sebentar lagi akan kita masuki.
Kami mengambil masalah ini dari Kitab Syaikh Prof. DR.Abdullah ath-Thayyar hafizhullah, yang judul terjemahan nya "Lebaran Menurut Sunnah yang Shahih"
Sebab Penamaan al-'Iid (Hari Raya)
kata al-'Iid menurut bahasa Arab menunjukkan sesuatu yang kembali dan berulang - ulang serta waktu dan tempat kemunculan dan datang nya biasa berulang-ulang.
Kata ini berasal dari kata al-'Aud yang bermakna kembali dan berulang. Sedangkan kata al-I'tiyaad adalah isim masdhar dari kata 'Adan - Ya'udu, kemudian menjadi nama untuk satu hari yang tertentu karena berulang nya dalam satu tahun dua kali.
Bentuk jamak adalah Aa'yadu. Bangsa Arab mengatakan "Ayyadal Muslimun" yaitu kaum muslimin menyaksikan hari raya mereka.
Al-'Iid dinamakan demikian karena dihari tersebut Allah Subhanahu wa ta'ala memiliki banyak kebaikan berulang, berupa berbuka setelah dilarang makan (puasa), zakat fitri, penyempurnaan haji dengan thawaf dan daging qurban. Juga karena biasanya dihari itu terdapat kebahagiaan, kesenangan dan semangat. Imam as-Suyuthi mengatakan : "Dan ini merupakan kekhususan umat ini"
Hari Raya Termasuk Rahmat Allah bagi Umat Islam
Pensyari’atan dua hari raya termasuk rahmat Allah kepada umat Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam, sebagaimana dijelaskan dalam satu hadits dari Anas Radhiyallahu’anhu, beliau berkata :
“Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam datang dan penduduk Madinah memiliki dua hari yang mereka gunakan dua hari itu untuk beriman (dengan permainan) di masa Jahiliyyah, lalu beliau berkata :
“Aku telah mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari yang kalian gunakan untuk bermain di masa Jahiliyyah. Sungguh Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari yang lebih baik dari itu yaitu hari Nahr (‘Idul Adh-ha) dan hari Fithr (‘Idul Fithri).” [Shahih : Abu Daud no 1134, Nasa’I 3/179, Ahmad 3/103 al-Hakim (al-Mustadrak nya 1/29). Dishahihkan al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi]
Cara menentukan satu syawal (Idhul Fitri)
Hilal bulan Syawal (tanggal 1 Syawal / ‘Idul Fithri), tidak boleh ditetapkan kecuali dengan dua orang saksi laki-laki yang adil :
“Dari Abdurrahman bin Zaid bin Khaththab, bahwa ia pernah berkhutbah pada hari yang masih diragukan (apakah telah masuk bulan Ramadhan atau belum), ia berkata : “Ketahuilah sesungguhnya aku pernah duduk belajar kepada para Sahabat Rasulullah sambil bertanya kepada mereka, lalu mereka menyampaikan kepada ku,
bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
“Berpuasalah kamu bila sudah melihat hilal (bulan Ramadhan) dan berbukalah (hari rayalah) kamu bila sudah melihat hilal (bulan Syawal), serta beribadahlah padanya. Jika mendung menyelimuti kamu, maka sempurnakanlah (bulan Syawal) menjadi tiga puluh hari. Dan jika ada dua orang muslim yang menyaksikan hilal, maka hendaklah kamu berpuasa dan berbukalah (idhul fithrilah).” [Shahih Jami’us Shagir no 3811, Nasaa’i 4/132-133]
Peringatan…..!
Barangsiapa yang melihat hilal satu Ramadhan atau hilal satu Syawal sendirian, maka ia tidak diperbolehkan berpuasa sebelum masyarakat berpuasa dan tidak boleh berbuka hingga masyarakat berbuka.
Hal ini berdasarkan hadits :
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Puasa adalah pada hari kamu sekalian berpuasa, berbuka (Idhul fithri) adalah pada hari kamu sekalian berbuka, dan hari kurban adalah hari kamu sekalian menyembelih hewan kurban.” [Shahih : Tirmidzi 2/101 no 693]
Imam Tirmidzi rahimahullah berkata : “Sebagian Ulama menafsirkan hadits ini dengan mengatakan, “Makna hadits ini adalah berpuasa dan berbuka harus bersama – sama dengan mayoritas kaum muslimin.”
Untuk malam ini, kita cukupkan sampai disini.
Merlung-Jambi, 28-08-2011
Prima Ibnu Firdaus ar-Rani
No comments:
Post a Comment